Dua hari menjelang hari kelahiran Sumpah Pemuda, aktivitas Gunung Merapi yang berada di batas wilayah DI. Yogyakarta, Jawa Tengah mencapai titik klimaks. Masyarakat yang tinggal di lereng gunung terpaksa angkat kaki untuk mencari perlindungan dari amukan abu panas yang menghujani area tersebut. Sejumlah tim SAR telah bekerja maksimal dalam upaya menekan angka korban yang mungkin berjatuhan.
Gunung yang juga meletus tahun 2004 silam ini mampu menyita perhatian publik hampir seluruh Indonesia. Betapa tidak, letusan yang memuntahkan lava dan menyemburkan awan panas atau wedus gembel tersebut selalu meminta korban jiwa. Dalam kejadian ini, hanya sedikit yang menjadi korban. Walaupun kerugian material akibat letusan gunung tersebut, tidak bisa dianggap kecil.
Akan tetapi, perhatian masyarakat tidak berhenti di situ saja, ada dimensi lain yang mampu menggerakkan opini massa dalam “melibatkan diri” terhadap peristiwa yang akan menjadi catatan sejarah ini, yaitu kabar duka tentang wafatnya sang juru kunci merapi, Mbah Maridjan. Beliau dinyatakan wafat setelah dilakukan pengecekan secara fisik dan melalui tes DNA. Hal itu dilakukan mengingat ada lima mayat ditemukan di tempat Mbah Maridjan bertempat tinggal, yang kesemuanya diselimuti abu vulkanik dan sulit dikenali.
Juru kunci yang mempunyai nama lain Mas Panewu Surakso Hargo itu meninggal dengan keadaan bersujud di dalam rumahnya. Status sebagai juru kunci Gunung Merapi yang beliau sandang, merupakan hadiah berharga dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1982 setelah 12 tahun menjadi wakil kuncen (sebutan lain dari juru kunci). Beliau diamanatkan oleh Sultan agar menjaga keseimbangan Gunung Merapi agar tetap terpelihara dengan baik.
Dalam tradisi masyarakat Yogyakarta, Gunung Merapi memiliki semacam kekuatan magis yang menyatu dalam garis lurus dengan Tugu Kraton Yogyakarta dan Laut Selatan. Garis imajiner yang menghubungkan ketiga titik penting itu merupakan landasan filosofis raja-raja Yogyakarta dalam berhubungan dengan rakyat dan Tuhan. Sementara Keraton Yogyakarta pas berada di tengah garis lurus itu. Inilah pusat sosioreligi politik Yogyakarta sejak kerajaan Mataram Islam pecah.
Sementara tugu yang berada di utara keraton dan tegak lurus dengan Gunung Merapi adalah simbol spiritualitas raja-raja Yogyakarta dalam menjalankan pemerintahan berkeadilan profetik. Itulah rahasia kenapa Mbah Maridjan diangkat menjadi kuncen Merapi oleh Sri Sultan.
Beliau menjadi populer sejak tahun 2006 lalu. Sulit menemukan sosok yang sama teguhnya dengan beliau. Di saat semua orang ketakutan menyaksikan amukan Gunung Merapi dan bergegas mencari tempat perlindungan, beliau tatap tak bergeming sedikit pun. Beliau tidak mau turun dari lereng Merapi, tempat beliau berada. Aktivitas Gunung Merapi yang selalu meminta korban, tidak membuat Mbah yang pernah menjadi bintang iklan salah satu minuman energi tersebut berubah pendirian. Keselamatan boleh terancam, tetapi sebuah prinsip tidak boleh goyah. Kontroversial memang!
Banyak kalangan yang mewanti-wanti agar Mbah Maridjan turun dari lereng, tetapi beliau tidak mengindahkan sedikit pun. Termasuk Sultan Hamengkubuwono X juga memerintahkan demikian. Tapi, apa dikata, beliau lebih patuh terhadap Sultan Hamengkubuwono IX yang telah memberikan tanggung jawab kepadanya. Keteguhan memegang prinsip dari sosok kuncen Merapi tak bisa ditukar dengan material. Walaupun harus mempertaruhkan nyawa sekalipun. Dan itu adalah harga mati yang harus dipertaruhkan, bukan sebuah arogansi individual. Akibat dari keteguhan itulah, Mbah Maridjan wafat dalam keadaan bersujud. Itu merupakan tanda kemuliaan dari seseorang yang patuh menjaga amanah.
Membaca Dua Peristiwa Penting
Meski opini publik tersita kuat oleh Gunung Merapi dan juru kuncinya, ada momen penting yang tak boleh dilupakan, yaitu peringatan hari kelahiran Sumpah Pemuda. Spirit Sumpah Pemuda sangat penting dijadikan acuan dalam melihat problem bangsa yang multikrisis. Prinsip Sumpah Pemuda tadi, jauh lebih penting dari apa yang Mbah Maridjan lakukan. Karena ini menyangkut nama dan identitas negara bukan daerah khusus. Namun, peristiwa ini akan dicatat oleh sejarah karena Mbah Maridjan lahir setahun sebelum sumpah pemuda digelar.
Akan tetapi, ada yang terlupakan ketika peringatan hari Sumpah Pemuda dilangsungkan. Berbagai kalangan merayakan hanya sebatas seremonial formal, bahwa setiap 28 Oktober adalah hari bersejarah dalam catatan perjalanan bangsa Indonesia ini yang perlu dikenang dengan sebuah acara peringatan.
Di saat ini pula, semangat pemuda yang tangguh dan berjiwa nasionalis, perlu terus “difatwakan”, lewat sebuah ritual tahunan bernama peringatan Sumpah Pemuda. Meski di sisi lain, mental-mental pemuda masa kini dan hampir di seluruh wilayah bangsa ini, terus ditelanjangi habis-habisan oleh ulah-ulah tak etis kaum elite senayan.
Tak jarang pula, di hari ini juga, arogansi yang selama ini mengakar seolah tercerabut dari sejumlah elite yang ikut andil dalam euforia sumpah pemuda tadi. Walaupun terkadang ini hanya sebatas apresiasi semu yang terlampau melembaga. Jargon-jargon spirit kepemudaan, nyaring didengungkan dan diteriakkan, tapi nihil dalam kenyataan.
Fenomena mengelukan semacam ini telah menjadi pemandangan umum yang menarik dan memiliki daya pikat tersendiri sehingga banyak yang tidak sadar atau mungkin sadar meski tidak mau menyadari, bahwa hal itu tidak bernilai apa-apa selain formalitas tanpa substansi yang benar-benar menyentuh hati pemuda.
Parahnya lagi, dosa sejarah semacam itu tak hanya dilakukan kaum elite. Tak jarang kita lihat pemuda-pemuda dewasa ini tak lagi membawa semangat sumpah yang mampu mewarnai cakrawala kemajuan bangsa ini ke depan sebagaimana pemuda tahun 1928 silam. Peristiwa itu telah berlalu. Tetapi, tidakkah kita mampu menjaga ruh dari sumpah pemuda sebagai bukti dari konsistensi dan semangat dalam menjalin hubungan yang damai, rukun dan penuh keadilan di atas aras kultur yang multietnis ini?
Seharusnya, prinsip garis imajiner seperti keyakinan masyarakat Yogyakarta tadi, perlu dimiliki oleh bangsa ini secara substansial. Dalam artian, elite negara-pemuda-rakyat harus berada pada sumbu yang sama untuk kemudian dijaga keseimbangannya secara berkeadilan sehingga kesejahteraan benar-benar bisa dirasakan oleh rakyat. Tiga pilar pokok ala falsafah Kraton Yogyakarta tersebut, tak lain merupakan konotasi dari ruh dan makna sumpah pemuda. Itu tidak bisa tercapai jika komitmen menjaga amanah diabaikan begitu saja.
Kini, Mbah Maridjan telah wafat dan Sumpah Pemuda tinggal sejarah. Tak ada lain yang harus dilakukan oleh pemuda atau bahkan pemimpin hari ini kecuali menancapkan spirit dan perinsip ke dalam bingkai komitmen yang amanah. Komitmen Mbah Maridjan perlu kita tiru dan spirit Sumpah Pemuda harus selalu dipegang. Di sinilah kunci yang dapat mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan. Selamat jalan Mbah! Doaku menyertaimu!
0 komentar:
Posting Komentar