Kamis, 29 Maret 2012

AFORISME CINTA

Jangan tertarik kepada seseorang karena parasnya, sebab ke-elokan parasnya
dapat menyesatkan. Jangan pula tertarik pada kekayaannya, karena kekayaan dapat musnah dalam sekejap.
Tetapi tertariklah kepada seseorang yang dapat membuatmu tersenyum, karena hanya
senyum yang dapat membuat hari-hari yang gelap menjadi cerah.

 Tuhan memberi kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga
untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Tuhan hanya
menganugerahkan Sekeping Hati pada kita?
Karena Tuhan telah memberikan Sekeping Hati lagi kepada seseorang untuk kita cari
dan itulah namanya CINTA.

Kamis, 22 Maret 2012

FILSAFAT AGAMA

Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat membahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau tidak. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang yang cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, padahal filsafat dan agama mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama dan filsafat  itu.

A. Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia penelitian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu berawal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan berdasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri tertentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan yang telah diverivikasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam. Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang filsafat.
Jadi ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan "lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibicarakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat, ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu. Namun demikian, definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang yang belajar filsafat definisi itu juga diperlukan, terutama untuk memahami pemikiran orang lain. 
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata filsafat pertama kali dicetuskan oleh Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya mengatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia. Menurut Harun Nasution  kedua  kata tersebut  setelah digabungkan menjadi philosophia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan susunan kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa`lala. Dengan demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah  atau filsaf.
Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada  hanya adalah kata hikmah.  Pada umumnya orang memahami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, padahal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan mencintai kebijaksanaan, sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah. Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan pengambilan keputusan berdasarkan suatu pertimbangan tertentu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat. Namun dalam konteks filsafat kata philosophia itu merupakan terjemahan dari love of wisdom.
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bahwa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cukup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan pandangan pemikir tentang filsafat  juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang memberikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh keahlian tentang kebijaksanaan itu. Plato mengatakan filsafat adalah kegemaran dan kemauan untuk mendapatkan pengetahuan yang luhur. Aristoteles (384-322 sm) mengatakan filsafat adalah ilmu tentang kebenaran. Cicero (106-3 sm.) mengatakan filsafat adalah pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Thomas Hobes (1588-1679 M) salah seorang filosof Inggris mengemukakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan hubungan hasil dan sebab, atau sebab dan hasilnya dan oleh karena itu terjadi perubahan. R. Berling mengatakan filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas diilhami oleh rasio mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman.
Alfred Ayer mengatakan filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah semenjak zaman Yunani dalam hal-hal pokok. Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang dapat diketahui dan bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana hubungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalahkan apa-apa yang dapat diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji nilai-nilainya apakah asumsi dari pemikiran itu dan selanjutnya memeriksa apakah hal itu berlaku. Immanuel Kant (1724-1804 M) salah seorang filosof Jerman mengatakan filsafat adalah pengetahuan yang menjadi pokok pangkal pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan: yaitu Apa yang dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika. Apa yang seharusnya diketahui? Jawabnya: etika. Sampai di mana harapan kita? Jawabnya Agama. Apa manusia itu? Jawabnya Antropologi. Jujun S. Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu persoalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.
Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Titus memberikan difinisi bahwa filsafat itu adalah sikap kritis, terbuka, toleran, mau melihat persoalan tanpa prasangka. Selanjutnya dia mengatakan bahwa dalam mendefinisikan filsafat sekurang-kurangnya bertolak dari empat sudut pandang yang saling melengkapi.
Pertama, filsafat adalah suatu sikap terhadap hidup dan alam semesta. Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu sikap filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofis dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
Kedua, adalah suatu metode berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan. Ini bukanlah metode filsafat yang eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat dan sangat berhati-hati terhadap seluruh pengalaman.
Ketiga, filsafat adalah kumpulan masalah. Semenjak dahulu sampai sekarang banyak masalah yang sangat mendasar yang masih tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof telah benyak mencoba memberikan jawabannya. Contohnya apakah kebenaran itu? apakah keindahan itu, apakah perebedaan antara benar dan salah?
Keempat, filsafat merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran. Dalam hal ini filsafat berarti teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau sistem-sistem pemikiran yang telah muncul dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ; seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat ber-pengaruh bagi pemikiran di masa sekarang. Dari merekalah lahir istilah-istilah seperti idealisme, realisme, pragmatisme dan sebagainya.
Kattsoff mengemukakan, filsafat ialah ilmu pengetahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas yang tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu pengeahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban alam. Selain itu filsafat merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu dan berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalaman serta peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih berhasil menanganinya.
Selain itu Liang Gie mengemukakan metode yang berbeda dalam pembahasan ini. Penulis itu meninjau filsafat dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku filsafat itu terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
Pertama pengejek filsafat, yaitu orang-orang yang mencemooh atau memperolok-olokan filsafat maupun filosof karena ketidaktahuannya.
Kedua peminat filsafat, yaitu seseorang yang sekedar mempunyai arah hidup, pandangan dunia, ukuran moral atau telah membaca karya filsafat sehingga tertarik kepada filsafat.
Ketiga penghafal filsafat, pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-hari menghafal buku atau diktat filsafat untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh dosennya.
Keempat sarjana filsafat, yaitu mahasiswa yang lulus di perguruan tinggi filsafat dengan memperoleh gelar doktorandus atau lainnya.
Kelima pengajar filsafat, yaitu sarjana yang memberikan kuliah dalam mata kuliah filsafat atau salah satu cabangnya di perguruan tinggi.
Keenam pemikir filsafat, yaitu seorang pemikir dalam bidang filsafat, dan itulah yang sebenarnya disebut filosof. Filosof ialah seorang yang senantiasa memahami persoalan-persoalan filsafat dan terus menerus melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban dari persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan diungkapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan definisi itu menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial,  politik, ekonomi dan sebagainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah filsafat khusus, seperti filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan yang bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas. Dengan demikian dalam pembahasan ini semua prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji berbagai hal tentang agama sehingga hasil itu disebut filsafat agama.    

B. Pengertian Agama
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia. Ternyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agamanya.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata relgi mengandung makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga sekalian tabu. Yang kudus dipercayai mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, padahal sebenarnya belum pantas disebut religi, karena hubungan antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhubungan dengan Yang Kudus.
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati  sebagai  kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu manusia secara bersama-sama menjalankan ajaran tertentu.
Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas berbagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.       
Selain itu dalam al-Quran  terdapat kata din  yang menunjukkan pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Quran menyebut kata din ada menunjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan bagi manusia. Kata din dengan arti  hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena  pada waktu itu dijanjikan azab yang pedih bagi orang yang berdosa. Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang berpiutang. Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama.
Dalam bahasa Semit istilah di atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaa. dan semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas dalam agama itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengertian agama secara etimologi. Namun banyak pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat umum ada  orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini.
Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. Karena dalam definisi yang dikemukakan di atas terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem hidup yang diterima dan diridoi Allah ialah sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan yang disyariatkan Allah untuk manusia.
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama yang menekankan kepada iman dan kepercayaan dan yang kedua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi definisi agama yang lebih memadai, yaitu sistem kepercayaan dan praktik yang sesuai dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.
Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu bermuara kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi untuk  agama, yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan  gaib  yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada  suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang  mempengaruhi perbuatan-perbuatan  manusia.
4. Kepercayaan kepada sesuatu ikatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal dari suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang  Rasul.

Definisi yang dikemukakan Harun Nasution dapat disederhanakan menjadi dua definisi saja. Dari nomor 1 sampai 7 dapat diketahui bahwa agama berkaitan dengan keterikatan manusia dengan kekuatan gaib yang lebih tinggi dari manusia yang mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa yang berkekuatan gaib itu dewa-dewa, atau roh-roh yang dipercayai mempunyai kekuasaan luar biasa melebihi dari dirinya, sekalipun pada hakikatnya yang dipercayai itu adalah benda mati seperti berhala dalam zaman Jahiliah. Adapun definisi nomor 8 terfokus kepada agama wahyu yang diturunkan melalui nabi-nabi. Jika disimpulkan, definisi-definisi agama itu menunjuk kepada kuatan gaib yang ditakuti, disegani oleh manusia, baik oleh kekuasaan maupun karena sikap pemarah dari yang gaib itu.
Dari delapan difinisi di atas dapat diklasifikasikan bahwa terdapat empat hal penting dalam setiap agama, yaitu :
Pertama, kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat meminta pertolongan. Oleh sebab itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
Kedua keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidup akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib itu. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan, yang dicari akan hilang pula.
Ketiga respon yang bersifat emosional dari manusia. Respon itu bisa berupa rasa takut seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya respon mengambil bentuk penyembahan yang terdapat di dalam agama primitif, atau pemujaan yang terdapat dalam agama menoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat paham adanya yang kudus (sacred) dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama itu dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.
Setelah diketahui pengertian masing-masing dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa sebenarnya pengertian filsafat agama. Harun Nasution mengemukakan bahwa filsafat agama adalah berfikir tentang dasar-dasar agama menurut logika yang bebas. Pemikiran ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Pertama membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat kepada ajaran agama, dan tanpa tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama. Kedua membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran suatu ajaran agama atau sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidaklah mustahil dan tidak bertentangan dengan logika. Dasar-dasar agama yang dibahas antara lain pengiriman rasul, ketuhanan, roh manusia, keabadian hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, soal kejahatan, dan hidup sesudah mati dan lain-lain. Oleh sebab itu pengertian filsafat agama adalah berfikir secara kritis dan analitis menurut aturan logika tentang agama secara mendalam sampai kepada setiap dasar-dasar agama itu.

C. Agama Sebagai Objek Filsafat
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa agama dan filsafat adalah dua pokok persoalan yang berbeda. Agama banyak berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Dalam agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), Yang Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah, sedangkan dalam agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai sebutan yang bermacam-macam, antara lain Brahma, Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, Budha Gautama dalam agama Budha, dan sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari ajaran agama dan setiap ajaran  agama itulah yang menjadi  objek pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti yang dikemukakan bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya itu mempunyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Kata objek dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan sasaran atau sesuatu yang menjadi pelengkap dari suatu aktivitas. Apa saja yang menjadi sasaran dalam suatu aktivitas berarti hal itu menjadi objek dari aktivitas tersebut. Jika seorang peneliti  melakukan penelitian tentang pola hidup masyarakat nelayan di A maka  semua pola hidup dan tingkah laku masyarakat nelayan tersebut adalah menjadi objek penelitian. Dengan kata lain setiap nelayan yang ada di lokasi penelitian yang dilakukan itu jelas menjadi objek dari penelitian tersebut.
Isi filsafat itu ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Karena filsafat mempunyai pengertian yang berbeda sesuai dengan pandangan orang yang meninjaunya, akan besar kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan filsafat itu akan berbeda pula. Objek yang dipikirkan filosof adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan, maupun yang ada dalam fikiran dan bisa pula yang ada itu dalam kemungkinan.
Aristoteles mengemukakan bahwa objek filsafat adalah fisika, metafisika, etika, politik, biologi, bahasa. Al-Kindi mengemukakan bahwa objek filsafat itu adalah fisika, matematika dan ilmu ketuhanan. Menurut al-Farabi, objek filsafat adalah semua yang mewujud. Selain yang dikemukakan oleh para filosof di atas, menambahkan bahwa kepercayaan itu termasuk objek pembicaraan filsafat.
Semua sasaran pembahasan di atas merupakan materi pembahasan filsafat. Agama adalah salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan filsafat. Dengan demikian, agama menjadi objek material filsafat. Ilmu pengetahuan juga mempunyai objek material yaitu materi yang empiris, tetapi objek material filsafat adalah bagian yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek yang berbeda yaitu aspek fisik dan aspek metafisik. Aspek metafisik adalah hal-hal yang berkaitan dengan yang gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan manusia dengan-Nya, sedangkan aspek fisik adalah manusia sebagai pribadi, maupun sebagai anggota masyarakat.
Kedua aspek ini (fisik dan metafisik) menjadi objek material filsafat. Namun demikian objek filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek fisik. Aspek fisik itu sebenarnya sudah menjadi pembahasan ilmu seperti ilmu sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah memisahkan diri dari filsafat. 
Dengan demikian, agama ternyata termasuk objek material filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sains. Objek material filsafat jelas lebih luas dari objek materil sains. Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidikan. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri. 
Selain objek material itu terdapat pula objek formal filsafat yaitu cara pandang yang menyeluruh, radikal dan objektif tentang yang ada untuk mengetahui hakikatnya. Dengan demikian, agama sebagai objek formal filsafat adalah cara pandang yang radikal tentang agama dan berbagai persoalan yang terdapat dalam agama itu. Dengan kata lain objek formal filsafat adalah pembahasan yang mendalam dan mendasar dari setiap hal yang menjadi ajaran dari seluruh agama di dunia ini. Seperti diungkapkan di atas bahwa pembahasan terpenting dalam setiap agama adalah ajaran tentang Tuhan. Pembahasan ini tidak hanya melihat argumentasi yang memperkuat keyakinan tentang Tuhan, tetapi juga argumen yang membantah, melemahkan bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yang akan dibahas dalam filsafat agama.

Karena begitu mendalamnya pembahasan tentang Tuhan terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Dengan mempelajari agama bisa seseorang   berubah keyakinan. Ada orang yang membahas persoalan kepercayaan dalam agama itu menambah keyakinannya terhadap Tuhan. Ada orang yang membahas persoalan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi karena ia tidak mendapatkan kepuasan dalam penemuannya sehingga orang itu berpaling dari keyakinannya semula. Jika seorang pada mulanya percaya kepada Tuhan, tetapi setelah membahas eksistensi Tuhan ia bisa menjadi tidak percaya kepada Tuhan. Nietzsche, seorang keturunan yang taat beragama adalah salah satu contoh dari persoalan ini. Sebaliknya, seorang yang ateis, yang kemungkinan dalam hidupnya mengalami kekosongan dan kegersangan jiwa setelah berfikir tentang penga-laman orang yang beragama bisa pula menjadi penganut agama yang kuat.
Tidaklah terlalu asing orang mengatakan bahwa pembahasan filsafat agama tidak menambah keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Ini bisa berarti bahwa pembahasan agama secara filosofis tidak perlu dan usaha itu adalah sia-sia. Tetapi perlu diingat bahwa pembahasan filsafat agama bertujuan untuk menggali kebenaran ajaran-ajaran agama tertentu atau paling tidak untuk mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip logika.
Sebenarnya objek filsafat agama tersebut tidak hanya persoalan-persoalan ketuhanan semata, tetapi juga sampai kepada persoalan-persoalan eskatologis. Persoalan eskatologis pada umumnya berbicara tentang hari kiamat dan hal-hal yang akan dialami manusia pada waktu itu, seperti persoalan keadilan Tuhan, penerimaan pahala dan siksa. Pentingnya persoalan eskatologis sebagai objek pemba-hasan  filsafat agama karena eskatologislah yang mendorong  orang bersemangat untuk menjalankan ajaran agamanya. Tanpa ada tanggung jawab terhadap amal perbuatannya keberadaan agama menjadi kurang menarik. Hidup sesudah mati inilah yang membuat pemeluknya menjadi tertarik kepada agama.
Filsafat agama sebenarnya bukanlah langkah untuk menyelesaikan persoalan agama secara tuntas. Pembahasan filsafat agama hanya bertujuan untuk mengungkapkan argumen-argumen yang mereka kemukakan dan memberikan penilaian terhadap argumen tersebut dari segi logisnya.       
Pernyataan ini menunjukkan bahwa objek filsafat bukanlah hal-hal yang empiris, bukan seperti penyelidikan sains yang keingintahuannya hanya pada batas yang dapat diteliti secara empiris. Dalam istilah lain, batas penelitian dalam ilmu pengetahuan adalah pada daerah yang dapat diriset, sedangkan objek filsafat adalah hal-hal yang dapat dipikirkan secara logis. Sains meneliti dengan riset, sedangkan filsafat meneliti dangan memikirkannya.
Selain itu filsafat merupakan analisis logis dari segi bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Di sini yang dilihat adalah maksud dari suatu istilah, seperti agama itu maksudnya apa. Sudah logiskah sesuatu yang dinyatakan dalam agama itu. Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli filsafat, yang dimaksud dengan filsafat di sini adalah berfikir menurut tata-tertib logika dengan bebas (tidak terikat pada suatu tradisi, dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai kepada dasar-dasar persoalan. Yang utama dalam tulisan ini adalah analisis kritis dan logis terhadap setiap persoalan agama. Sehubungan dengan itu, apa sebenarnya yang menjadi objek pembahasan filsafat, apakah segala sesuatu tanpa kecuali dapat menjadi objek pembicaraan filsafat.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa objek pembicaraan filsafat itu banyak sekali, yaitu segala yang ada. Agama ternyata merupakan salah satu objek pembicaraan filsafat.

D. Perbadingan Agama dan Filsafat
Dari uraian di atas diketahui bahwa antara agama dan filsafat itu terdapat perbedaan. Menurut Prof. Dr. H. Rasyidi, perbedaan antara filsafat dan agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara menyelidiki bidang itu sendiri. Filsafat adalah berfikir, sedangkan agama adalah mengabdikan diri, agama banyak hubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungan dengan pemikiran. Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi, mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut pengetahuan untuk beribadah atau mengabdi. Pokok agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting adalah hubungan manusia dengan Tuhan.
Lewis mengidentikkan agama dengan enjoyment dan filsafat dengan contemplation. Kedua istilah ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang laki-laki mencintai perempuan, rasa cinta itu dinamai dengan enjoyment, sedangkan pemikiran tentang rasa cinta itu disebut contemplation.
Di sisi lain agama mulai dari keyakinan, sedangkan  filsafat mulai dari mempertanyakan sesuatu. Mahmud Subhi mengatakan bahwa agama mulai dari keyakinan yang kemudian dilanjutkan dengan mencari argumentasi untuk memperkuat keyakinan itu, (ya`taqidu summa yastadillu), sedangkan filsafat berawal dari mencari-cari argumen dan bukti-bukti yang kuat dan kemudian timbulah keyakinannya (yastadillu summa ya`taqidu). Dalam pendapat  Mahmud Subhi , agama di sini kelihatan identik dengan kalam, yaitu berawal dari keyakinan, bukan berawal dari argumen.     
Perbedaan lain antara agama dan filsafat adalah bahwa agama banyak hubungannya dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungannya dengan pikiran yang dingin dan tenang. Agama dapat diidentikkan dengan air yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya, sedangkan filsafat diumpamakan dengan air telaga yang jernih, tenang dan kelihatan dasarnya. Seorang penganut agama biasanya selalu mempertahankan agama habis-habisan karena dia sudah mengikatkan diri kepada agamanya itu. Sebaliknya seorang ahli filsafat sering bersifat lunak dan sanggup meninggalkan pendiriannya jika ternyata pendapatnya keliru. Dalam diri seorang ahli filsafat terdapat maksud meneliti argumen-argumen yang mendukung pendapatnya dan kelemahan argumen tersebut walaupun untuk argumen dia sendiri, sedangkan dalam diri penganut suatu agama tidak terdapat keinginan seperti itu. 
Di sisi lain Harun Nasution membandingkan pembahasan filsafat agama dengan pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi pembahasan tersendiri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama pembahasan ditujukan kepada dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan pada dasar-dasar agama tertentu. Dengan demikian terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya.
Pemikiran-pemikiran seperti itu kurang tepat karena pandangan masing-masing penganut agama dan filosof bersifat sepihak. Pendirian yang lebih baik dan lebih berfaedah adalah pendirian seorang penganut suatu agama yang bersedia mendengarkan uraian tentang paham atau agama lain dan meminta bukti dari paham atau agamanya itu.  
Seseorang memerlukan kepiawaian dalam mengemukakan argumen, memahami teknik analisa serta mengetahui sejumlah bahan pengetahuan untuk memikirkan segala sesuatu secara logis, termasuk setiap problema kehidupan yang ada hubungannya dengan hal itu. Melihat sesuatu itu memerlukan pemikiran luas, dan jauh dari emosi. Tetapi harus disadari bahwa agama pada satu sisi memang ditandai dengan unsur-unsur yang bersifat memihak kepada keyakinannya sendiri. Tanpa ada sifat memihak, agama kadang-kadang kurang terasa maknanya.