Kamis, 22 Maret 2012

TEKNIK MEMBACA PUISI (DEKLAMASI)


1. PENGANTAR
Deklamasi berasal dari bahasa Latin yang maksudnya declamare atau declaim yang membawa makna membaca sesuatu hasil sastra yang berbentuk puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu. Gerak yang dimaksudkan ialah gerak alat bantu yang puitis, yang se-irama dengan isi bacaan.
Umumnya memang deklamasi berkait rapat dengan puisi, akan tetapi membaca sebuah cerpen dengan lagu atau gerak tubuh juga bisa dikatakan mendeklamasi. Mendeklamasikan puisi atau cerpen bermakna membaca, tetapi membaca tidak sama dengan maksud mendeklamasi. Maksudnya di sini bahwa apa pun pengertian membaca tentunya jauh berbeda dengan maksud deklamasi.

2. MAKNA KATA DEKLAMASI
Sudah jelas deklamasi itu berasal dari bahasa asing, jadi maknanya ia bukan kata asli Indonesia. Memang keadaan semacam ini sering berlaku di Indonesia, misalnya kata neraka, izin, zaman, ajal, karam dan lain-lain berasal dari bahasa Arab, sedang tauco, tauge berasal dari bahasa Tionghua. Manakala dastar, kenduri, kelasi berasal dari bahasa Persi. Lampu, mesin, koki, repot dari bahasa Belanda, manakala pensil, botol berasal dari bahasa Inggris dan demikianlah halnya deklamasi berasal dari bahasa Latin.
Di Indonesia perkataan deklamasi sudah ada sebelum tahun 1950-an. Deklamasi artinya membawa puisi-puisi, sedang orang yang melakukan deklamasi itu disebut “Deklamator” untuk lelaki dan “Deklamatris” untuk perempuan.
Apa bedanya deklamasi dan nyanyi? Menyanyi ialah melagukan suatu nyanyian dengan menggunakan not-not do-re-mi atau not balok, sedang deklamasi ialah membawakan pantun-pantun, syair, puisi atau sajak dengan menggunakan irama dan gaya yang baik. Disamping itu kita mengenal pula: menari, melukis, memahat, sandiwara dan lain-lain. Semuanya itu mempunyai cara-cara dan aturannya sendiri-sendiri.

3. BAHAN YANG DIDEKLAMASIKAN
Tentu saja tidak semua pantun, sajak atau puisi dapat dideklamasikan, malah cerpen dan novel juga boleh dideklamasikan/soalnya kita harus memilih mana sajak, puisi, pantun-pantun yang baik dan menarik untuk dideklamasikan.
4. CARA BERDEKLAMASI
Seperti telah dijelaskan bahawa berdeklamasi itu membawakan pantun, syair dan sajak atau puisi. Kemudian apakah cukup hanya asal membawakan saja? Tentu tidak! Berdeklamasi, selain kita mengucapkan sesuatu, haruslah pula memenuhi syarat-syarat lainnya. Apakah syarat-syarat itu? Sebelum kita berdeklamasi, kita harus memilih dulu pantun, syair, sajak apa, yang rasanya baik untuk dideklamasikan. Terserah kepada keinginan masing-masing.
Yang penting pilihlah sajak atau puisi, pantun atau syair yang memiliki isi yang baik dan bentuk yang indah dideklamasikan. Mengenai hal isi tentunya dapat minta nasihat, petunjuk dan bimbingan dari mereka yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan atau ahli dalam bidang deklamasi.
Kalau kita sudah memilih sebuah puisi misalnya, tentu saja boleh lebih dari satu. Hal ini sering terjadi dalam lomba-lomba yang menyiapkan puisi wajib dan puisi pilihan. Nah, sesudah itu, lalu apa lagi yang harus kita perbuat? Maka tidak boleh tidak harus mentafsirnya terlebih dahulu.

5. MENAFSIR PUISI
Apakah puisi yang kita pilih itu berunsur kepahlawanan, keberanian, kesedihan, kemarahan, kesenangan, pujian dan lain-lain? Kalau puisi yang kita pilih itu mengandung kepahlawanan, keberanian dan kegagahan, maka kita pun harus mendeklamasikan puisi tersebut dengan perasaan dan laku perbuatan, yang menunjukkan seorang pahlawan, seorang yang gagah berani. Kita harus dapat melukiskan kepada orang lain, bagaimana kehebatan dan kegagahan kapal udara itu. Bagaimana harus mengucapkan kata-kata yang seram dan menakutkan.
Sebaliknya kalau saja puisi yang kita pilih itu mengadung kesedihan, sewaktu kita berdeklamasi haruslah betul-betul dalam suasana yang sedih dan memilukan, bahkan harus bisa membuat orang menangis bagi orang yang mendengar dan melihat kita sedih, ketika dideklamasikan menjadi sebuah puisi yang gembira, bersukaria atau sebaliknya. Tentu saja hal-hal seperti itu harus dijaga benar-benar. Karena itu, harus berhati-hati, teliti, tenang dan sungguh-sungguh dalam menafsir sebuah puisi.
Bacalah seluruh puisi itu berulang-ulang sampai kita mengerti betul apa-apa yang dikandung dan dimaksud oleh puisi tersebut. Juga kata-kata yang sukar dan tanda-tanda baca yang kurang jelas harus dipahami benar-benar, Jika sudah dimengerti dan diselami isi puisi itu, barulah kita meningkat ke persoalan yang lebih lanjut.

6. MEMPELAJARI ISI UNTUK MENDEKLAMASI PUISI
Cara mengucapkan puisi itu tidak boleh se-enaknya saja, tapi harus tunduk kepada aturan-aturannya: di mana harus ditekankan atau dipercepatkan, di mana harus dikeraskan, harus berhenti, di mana harus dilambatkan atau dilunakkan, di mana harus diucapkan biasa, dan sebagainya. Jadi, bila kita mendeklamasikan puisi itu harus supaya menarik, maka harus dipakai tanda-tanda tersendiri:
——  Diucapkan biasa saja
/        Berhenti sebentar untuk bernafas/biasanya pada koma atau di tengah baris
//       Berhenti sedikit lama/biasanya koma di akhir baris yang masih berhubungan artinya dengan baris berikutnya
///      Berhenti lama sekali biasanya pada titik baris terakhir atau pada penghabisan   puisi
^       Suara perlahan sekali seperti berbisik
^^     Suara perlahan sahaja
^^^   Suara keras sekali seperti berteriak
V           Tekanan kata pendek sekali
VV         Tekanan kata agak pendek
VVV       Tekanan kata agak panjang
VVVV    Tekanan kata agak panjang sekali
____/     Tekanan suara meninggi
____\     Tekanan suara agak merendah
Cara meletakkan tanda-tanda tersebut pada setiap kata masing-masing orang berbeda tergantung kepada keinginannya sendiri-sendiri. Dari sinilah kita dapat menilai: siapa orang yang mahir dan pandai berdeklamasi.
Demikianlah, setelah tanda-tanda itu kita letakkan dengan baik dan dalam meletakkannya jangan asal meletakkan saja, tapi harus memakai perasaan dan pertimbangan, seperti halnya kalau kita membaca berita: ada koma, ada titik, tanda-tandanya, titik koma dan lain-lain.
Kalau tanda-tanda itu sudah diletakkan dengan baik, barulah kita baca puisi tersebut berulang-ulang sesuai dengan irama dan aturan tanda itu. Dengan sendirinya kalau kita sudah lancar benar, tekanan-tekanan, irama-irama dan gayanya takkan terlupa lagi selama kita berdeklamasi.

7. PUISI HARUS DIHAFAL
Mendeklamasi itu ialah membawakan puisi yang dihafal. Memang ada juga orang berdeklamasi puisi di atas kertas saja. Cara seperti itu kurang enak kecuali jika untuk siaran pembacaan puisi di radio atau rekaman. Tetapi deklamasi itu selalu saja didengar dan ditonton orang. Mana mungkin para penonton akan senang, melihat kita berdeklamasi kalau muka kita tertunduk melulu terus menerus kala mendeklamasikan puisi itu. Tentu saja membosankan bukan?
Makanya sebaik mungkin deklamator harus menghafal puisi yang mahu dideklamasi itu. Caranya ulangilah puisi itu berkali-kali tanpa mempergunakan teks, sebab jika tidak demikian di saat kita telah naik pentas, kata-kata dalam puisi itu tak teringat atau terputus-putus.
Betapa lucunya seorang deklamator, ketika dengan gaya yang sudah cukup menarik di atas panggung, di muka penonton yang ramai, tiba-tiba ia lupa pada kalimat-kalimat dalam puisi. Ia seperti terhenti, terpukau, mau bersuara tak tentu apa yang harus diucapkan. Mau mengingat-ingat secara khusuk terlalu lama. Menyaksikan keadaan demikian itu sudah tentu para penonton akan kecewa. Bagi si deklamator sendiri akan mendapat malu. Oleh kerana itu hafalkanlah puisi itu sebaik-baiknya sampai terasa lancar sekali. Setelah dirasakan yakin, bahawa sebuah puisi telah sanggup dibaca di luar kepala, barulah berlatih mempergunakan mimik atau “action”
Cara menghafal tentu saja dengan cara mengingatnya sebaris demi sebaris dan kemudian serangkap demi serangkap disamping berusaha untuk mengerti setiap kata yang dicatatkan karena hal itu menjadi jelasnya maksud dan tujuan isi puisi itu.

8. DEKLAMASI BUKAN UCAPAN SEMATA
Deklamasi bukan ucapan semata. Deklamasi harus disertai gerak-gerak muka, kalau perlu dengan gerak seluruh anggota badan atau seluruh tubuh, tetapi yang paling penting sekali ialah gerak-gerak muka. Dengan ucapan-ucapan yang baik dan teratur, diserta dengan gerak geri muka nescaya akan bertambah menarik, apa lagi kalau ditonton. Dari gerak geri muka itu penonton dapat merasakan dan menyaksikan mengertikan puisi yang dideklamasikan itu. Apakah puisi itu mengandung kesedihan, kemarahan, kegembiraan dan lain-lain.
Hanya saja dalam melakukan gerak geri itu jangan sampai berlebih-lebihan seperti wayang orang yang bergerak ke sana ke mari, sehingga mengelikan sekali. Berdeklamasi secara wajar, tertib dan mengesankan.

9. CARA MENILAI
Untuk mudahnya bagi seorang deklamator/deklamatris melengkapi dirinya dalam mempersiapkan kesempurnaan berdeklamasi, maka seorang calon harus mengetahui pula hal-hal yang menjadi aspek penilaian dalam suatu lomba deklamasi. Yang menjadi penilaian juri terhadap pembawa puisi atau deklamator meliputi bidang-bidang seperti berikut:
A. PENAMPILAN/PERFORMANCE
Sewaktu pembawa puisi itu muncul di atas pentas, haruslah diperhatikan lebih dahulu hal pakaian yang dikenakannya. Kerapian memakai pakaian, keserasian warna dan sebagainya akan menambahkan angka bagi si pembawa puisi. Tentu saja penilaian pakaian ini bukan terletak pada segi mewah tidaknya pakaian itu, tetapi dalam hal kepantasan serta keserasiannya. Kerana itu, perhatikanlah pakaian lebih dahulu sebelum tampil di atas pentas. Hindarikan diri dari kecerobohan serta ketidakrapian berdandan.
B. INTONASI/TEKANAN KATA DEMI KATA
Baris demi baris dalam puisi, sudah tentu tidak sama cara memberikan tekanannya. Ini bergantung kepada kesanggupan si pembaca puisi dan menafsirkan tiap-tiap kata dalam hubungannya dengan kata lainnya. Sehingga ia menimbulkan suatu pengungkapan isi kalimat yang tepat. Kesanggupan si pembaca puisi memberikan tekanan-tekanan yang sesuai pada tiap kata yang menciptakan lagi kalimat pada baris-baris puisi, akan memudahkan mencapai angka tertinggi dalam segi intonasi.
C. EKSPRESI/KESAN WAJAH
Kemampuan si pembaca puisi dalam menemukan arti dan tafsiran yang tepat dari kata demi kata pada tiap baris kemudian pada kelompok bait demi bait puisi akan terlihat pada kesan air muka atau wajahnya sendiri. Ada kalanya seorang pembawa puisi tidak menghayati isi dan jiwa tiap baris puisi dalam sebuah bait, sehingga antara kalimat yang diucapkan dan airmuka yang diperlihatkan tampak saling bertentangan.
Jadi, penghayatan itu sangat penting dan ia harus dipancarkan pada sinar wajah si pembawa puisi. Misalnya sebuah bait dalam puisi yang bernada sedih haruslah digambarkan oleh si pembaca puisi itu melalui air mukanya yang sedih dan bermuram durja.
D. APRESIASI/PENGERTIAN PUISI
Seorang pembaca puisi akan dinilai mempunyai pengertian terhadap sesuatu puisi, manakala ia sanggup mengucapkan kata demi kata pada tiap baris puisi disertai kesan yang terlihat pada air mukanya. Jika tidak berhasil, dikatakannya si pembaca puisi itu belum mempunyai apresiasi atau apresiasinya terhadap puisi itu agak kurang. Dalam istilah umumnya apresiasi diterjemah lebih jauh lagi sebagai penghayatan.
Seorang pendeklamator yang baik/ia harus menghayati makna dan isi puisi yang akan dideklamasikan dan tanpa menghayatinya, maka sudah tentu persembahannya bakal hambar, lesu dan tak bertenaga.
E. MIMIK/ACTION
Mimik atau action dalam sebuah deklamasi puisi sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan suasana pembacaan puisi. Seorang pembawa puisi yang berhasil ia akan mengemukan sesuatu action atau mimik itu sesuai dengan perkembangan kata demi kata dalam tiap baris dan tidak bertentangan dengan jiwa dan isi kata-kata kalimat dalam puisi.
Terjadinya kontradiksi antara apresiasi dan action menimbulkan kesan yang mungkin bisa menjadi bahan tertawaan penonton. Hal ini harus dipelajari sebaik-baiknya oleh si pembawa puisi. Tanpa hal itu, ia tak mungkin bisa mendapatkan angka terbaik dalam pembawaan puisi.
Sebagi contoh: ketika si pembawa sajak menyebut “dilangit tinggi ada bulan” tetapi mimik kedua belah tangan menjurus ke bumi, Hal ini akan menimbulkan bahan tertawaan bagi penonton, mana mungkin ada bulan di bumi, tentu hal itu tidak mungkin sama sekali. Betapapun bulan selalu ada di langit. Inilah yang dimaksud betapa pentingnya pembawa sajak menguasai apresiasi puisi, sehingga dapat menciptakan mimik yang sesuai dengan keadaan isi dan jiwa puisi itu.
F. TATA TERTIB
Untuk menambahkan lebih sempurna lagi bagi pengetahuan seorang deklamator atau deklamatris, maka dibawah ini kita kemukakan beberapa tata tertib berdekmalasi:
F.1 Berdirilah baik-baik di atas pentas yang telah tersedia
F.2 Pakaian harus menimbulkan kesan yang menarik dan menyenangkan
F.3 Menghadap kepada penonton, memandang ke sekeliling dengan airmuka yang berseri-seri, lalu memberi salam kepada hadirin dengan hormat, dengan cara menganggukkan kepala.
F.4 Bacalah judul puisi dan sebut nama penulisnya dengan suara yang jelas/tepat dengan nada suara yang wajar
F.5 Berhenti beberapa detik, menyiapkan nafas, lalu mulailah pembacaan deklamasi itu sebaris demi sebaris, bait demi bait.
F.6 Selama pembacaan puisi, perhatian harus tercurah kepada puisi itu sendiri dan jangan tergoda oleh hiruk pikuk suara atau bunyi lain terutama sekali penonton.
F.7 Ketika pembacaan puisi itu selesai, berhentilah beberapa saat, melepaskan nafas, lalu menghormati penonton dan kepada para hakim.
F.8 Biasakanlah dengan sikap yang tenang dan wajar ketika meninggalkan pentas dan tidak usah tergesa-gesa.


Penulis, Sastrawan dan
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar